ABUYA MUDA WALY AL-KHALIDY
Abuya Muda Waly Al khalidy dilahirkan di Desa Blang poroh, kecamatan
Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Beliau adalah
putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau
berasal dari Batu sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan
selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat
oleh Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Sheikh Abdul
Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Tak lama setelah Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Sheikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syekh Muhammad salim sangat menyayangi Sheikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Sheikh Muda Waly selalu digendong oeh ayahnya. Mungkin Sheikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Sheikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.
Nama Abuya Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Perjalanan pendidikan Abuya Muda Waly
Syekh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang
tauhid, fiqh, dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu
beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda.
Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren
di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin
oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan
Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg
School. Setelah lebih kurang 4 tahun belajar di pesantren Al-Khairiyah,
beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota
kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama'ah sama
seperti Pesantren Al-Khairiyah yang dipimpin oleh seorang ulama besar
yang datang dari Aceh Besar, Syekh Mahmud. Dipesantren Bustanul Huda
barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama
Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir, dan Mahally dalam ilmu
fiqh, Alfiyah dan Ibn 'Aqil dalam ilmu nahwu dan sharaf.
Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu
masalah antara beliau dengan gurunya, Teungku Syekh Mahmud. Yaitu
perbedaan perdapat antara beliau dengan gurunya tentang masalah berzikir
dan bershalawat sesudah shalat didalam masjid secara jahar. Dikemudian
harinya Syeikh Muda waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren
lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah syekh Muda Waly, Haji
Muhammad Salim meminta izin kepada Syekh Mahmud, minta do'anya untuk
dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting
meminta maaf atas kelancangan Syekh Muda Waly berbeda pendapat dengan
gurunya dalam masalah tersebut. Berkali-kali beliau dan ayahnya meminta
ma'af kepada Syekh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya
setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah, maka
timbullah kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum
Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh)yang bernama Teungku Sufi,
mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan
membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka
di ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya
sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal
Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku
Sufi tersebut dengan Syekh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau
tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total
didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syeikh Mahmud mema'afkan
kesalahan Syekh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengan gurunya
tersebut pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.
Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syekh H.Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syekh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda. Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syekh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata "Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie". Sesampainya di Blang Pidie, Syekh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syekh Muda Waly "biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong".Pada kali yang ketiga ini Syekh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syeikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.
Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Abu Hasan Kreungkale,
ayahanda dari Syekh H.Marhaban, menteri muda pertanian Indonesia para
masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari,
pada saat syeikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama.
Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun. Syekh Muda
Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan
kitab tersebut, dengan kalimat terkhir Wa huwa hasbi wa ni'mal wakil.
Setelah selesai pengajian Syeikh Muda Waly merasa bahwa
syarahan-syarahan yang diberikan oleh Syekh Hasan Krueng Kale tidak
lebih dari pengetahuan yang beliau miliki dan apabila beliau membacakan
kitab tersebut maka beliau juga akan sanggup menjelaskan seperti
syarahan yang dipaparkan oleh Syekh Hasan. Walaupun demikian beliau
tetap menganggap Syekh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syekh
Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syekh Hasan Krueng Kale,
apabila guru beliau Syeikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus
Pesantren Kuerng Kale. Syekh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren
krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk
menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang
ulama lain di Banda Aceh yaitu Syekh Hasballah Indrapuri, beliau
memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam
ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syeikh Muda
Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al–Quran masih
kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri.
Pesantren Indrapuri tersebut dalam symtem belajar sudah mempergunakan
bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran
kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitab kuning, Syekh
Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan
dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta
syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal
anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan
yang luas. Maka ustaz tersebut mengajak beliau kerumahnya dan
memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapkan asrama
tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan
yang dibawa Syeikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan
dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan
belanja.
Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syekh Hasballah Indrapuri
sepakat untuk mengangkat Syekh Muda Waly sebagai salah satu guru senior
di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syekh muda Waly mengajar di
pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam
semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang
hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu waktu itupun tetap
diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau
mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal beliau dan beliau
kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak
sakit. Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran
dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang payung
kepada Syekh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang,
Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar,
Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan
pribadi syekh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini
perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah
terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al
Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yang
telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam
School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan
sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan
mengirimkan Syekh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau
pendahuluan sebelum melanjutkan ke al Azhar. Berangkatlah Syekh Muda
Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali tidak
mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam
School dan kemana beliau harus singgah. Tiba-tiba saja ada seorang
penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik
Syekh Muda Waly selama di kapal, orang tersebut bersedia membantu Syekh
Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.
Setelah sampai di Normal Islambeliau segera mendaftarkan diri di Sekolah
tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya
beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga
pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan:
- Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalam ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti ulama-ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu agama yang diajarkan di normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
- Di normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa inggris, bahasa belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.
- Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan di lembaga tersebut, Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syeikh Muda Waly, kalau begini, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.
Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah
seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang
yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub
menyampaikan kepada Syekh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke
Aceh,tetapi menetaplah dulu di Padang,barangkali ada manfaatnya. Pada
suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu
di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu
diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab
berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu
beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syekh Muda Waly tidak tepat,
maka beliau membetulkan. Sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan
jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani
bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu. Akhirnya para jamaah
beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk
menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke
hari, ayahku mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari
satu mesjid ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang,
tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat
islam Sumatra barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran
beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahu dan lain. Barulah sejak itu
beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh. Pada
masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah-
masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat, seperti masalah
usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al
–fitr dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua
dengan kelompok kaum muda. Syekh Muda Waly berasal dari Aceh dalam
kelahiran, dan pendidikannyai, tentu saja berpendirian dalam semua
masalah masalah itu seperti pendirian para ulama Aceh sejak zaman
dahulu, karena semua ulama Aceh khususnya dalam bidang syari’at dan fiqh
islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi
ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdur Rauf as-Singkili [Syiahkuala], Syekh Hamzah Fansury, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani dan lain lain.
Semuanya bermazhab Syafi'i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari`at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja. Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syeikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan alasannya, al Qur’an dan hadist, dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu, yaitu syeikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof.Drs.H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang. Murid daripada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertahankan 'aqidah ahli al-sunnah wa al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat, yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka. Syekh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syekh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syeikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syeikh prof.Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syekh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul. Kemudian Syeikh Muda waly juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syeikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syeikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syekh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab. Di Pesantren jaho itulah Syekh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid-muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syekh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syeikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syeikh Muda Waly. Dari situlah, Syekh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syeikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syekh Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi'ah yang akhirnya melahirkan Syekh H.Mawardi Waly. Akhirnya syekh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah.
Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta`lim Apabila datang hari-hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syekh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syekh Hasan Basri, menantu dari Syekh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syekh Muda Waly menunaikan ibadah haji ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syekh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al- Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab kitab hadis dari Syekh Ali Al Maliki. Selama di Makkah Syeikh Muda Waly seangkatan dengan Syeikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al mukarramah .
Abuya muda waly Pulang ke Aceh
Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui
pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur,tetapi pada
hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan beliau selama ini
membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang
shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta
pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau
sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini
dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh
Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata
Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan
pesantrten di desa beliau sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939,
beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh
di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli
famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji.
Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad
membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama
tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau
bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau
beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di
atas dipergunakan sebagai tempat ibadah. Lahan tempat mendirikan
musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan
jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau.
Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam
rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas
lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung
santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah
Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk
membeli tanah sekitar surau yang ada.
Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit,
hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung
santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan
Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari
berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren
itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan,
khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra. Pesantren itu beliau
bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin;di bagian ini terletak lokasi madrasah,
mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya
dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam
pengembangan tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwat atau
suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal
zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Ketiga: Darul Muta`allimin Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari,guru tasauf Syekh muda Waly.
Keempat : Darus salikin ;dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin ;lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini .Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la ;lakasi ini merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan. Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin),hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat. Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan.Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak. Para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
Murid-Murid Abuya Muda Waly
- Al Marhum Tgk. H.Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun
- Al Marhum Tgk.Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah) Samalanga, Bireun.
- Al Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
- Tgk. H.Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesabtren Al Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh Bireun.
- Teungku H.Daud Zamzamy.Aceh Besar.
- Al Marhum Tgk. Syekh Syihabuddin Syah(Abu Keumala)pimpinan pesantren Safinatussalamah , Medan.
- Teungku Adnan Mahmud pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan
- Al Marhum.Tgk Syekh Marhaban Krueng Kalee(putra Syekh Hasan Krueng kale) mantan menteri muda era Sukarno
- Al Marhum Tgk.Muhammad Isa Peudada
- Al Marhum Tgk.ja`far Shiddiq Kuta Cane
- Al Marhum Tgk. Abu Bakar sabil, Meulaboh Aceh Barat
- Al Marhum Tgk.Usman fauzi. Cot Iri, Aceh Besar.
- Syekh.prof. Muhibbuddin waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
- Al Marhum Syekh Jailani
- Al Marhum Syekh Labai sati, Padang Panjang
- Al Marhum Tgk. Qamaruddin, Teunom. Aceh Barat
- Tgk.Syekh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara
- Tgk.Syekh Ahmad Blang Nibong Aceh Utara
- Tgk.Syekh Abbas Parembeu, Aceh Barat
- Tgk.Syekh Muhahammad Daud, Gayo
- Tgk.Syekh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie
- Tgk.Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
- Tuanku Idrus, Batu Basurek, Bangkinang
- Al Marhum Tgk.Syekh Amin Umar, Panton labu
- Syekh Nawawi Harahap, Tapanuli
- Al Marhum Tgk Syekh Usman Basyah, Langsa
- Tgk.Syekh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara
- Tgk.Syekh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat Dan lain lain banyak lagi…..
Karya-karya Abuya Muda Waly
- Al fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama
- Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah
- Risalah adab zikir ismuz Zat
- Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq
- Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syeikh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa`ad Mungka.
Beliau menyebutkan: “Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah waljamah,
bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad al Khatib yang bernama: Izhar
Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah
itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia itu, karena
beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Paya kumbuh
(Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian
kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan
kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh
As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya
patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib. karena itu maka hamba yang
faqir ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat
Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh
Ahmad Khathib dan karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara
karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan
debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syekh Ahmad Khatib itu murid
Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syekh
As`ad Mungka murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman Betawi yang
masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh Sa`ad Mungka
apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan ulama
Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi
murid muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah
terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung
kepalanya.”
0 komentar:
Posting Komentar