Di abad modern saat ini, dunia
tekhnologi telah memiliki peran objek penting bagi segala kebutuhan manusia.
Tekhnologi telah memiliki posisi tinggi pada kedudukannya bahkan berada di
posisi volume perkembangan yang sangat pesat, banyak objek ke-ilmuan yang saat
ini telah dicapai olehnya, baik dalam bidang ilmu arkeologi, sosiologi,
biologi, antropologi, kosmologi, bahkan tinjaun yang berasal dari Agama pun
tidak lepas dari pengaruh arus tekhnologi yang pesat ini.
Bisa dikatakan bahwa abad 21 adalah abad
dimana masa ilmu pengetahuan mengalami titik keberhasilan sempurna, lain halnya
pada abad-abad sebelumnya pengaruh tekhnologi masih pada proses penceharian
hingga belum banyak hal yang ditemukannya dan pengaruh ilmu pengetahuan pada masa
itu juga belum mencapai pada tahap maksimal, sehingga ilmu pengetahuan masih
minim tingkat keotentikannya.
Namun perlu diketahui, ketika arus
globalisasi berkembang sedemikian pesatnya, para ilmuan dalam segala bidang pengetahuan
telah banyak memisahkan korelasi ke-Agama-an dengan ilmu pengetahuan modern,
sehingga tidak jarang dari keabasahan suatu bidang ilmu menjadi tidak sesuai dengan apa yang telah di arahkan
oleh agama, selain itu ilmu tersebut mengakibatkan banyak terjadi kontroversial
pendapat bahkan lebih jauhnya ilmu tersebut menjadi tidak relavan lagi dan
dapat memunculah beberapa keraguan-keraguan yang mengakibatkan pada kebohongan
ilmiah, akibatnya fikiran manusia jauh dari Agama dan pada akhirnya menganggap bahwa
agama hanyalah sebagai ruang lingkup ibadah saja, bukan lagi sebagai rujukan
sensor dari setiap bidang ilmu pengetahuan. Ada alasan mengapa keadaan seperti
ini terjadi, ini disebabkan karena Ilmu Pengetahuan dengan Agama tidaklah
bersatu.
Maka beranjak dari permasalahan
tersebut diatas, terdapat beberapa ilmu pengetahuan yang saat ini telah
mengalami ketidak absahan objek sehingga menjadi rancu akan manfaatnya, demikianlah
yang terjadi pada konsep keyakinan tentang adanya manusia purba sebagai nenek
moyang manusia modern (manusia sekarang), padahal jika ditelusuri lebih dalam dengan
alat kacamata Agama, konsep ini dianggap salah dan tidak dapat dibuktikan
secara Agama bahkanpun secara ilmiah. Untuk itu banyak penilaian oleh para
ilmuan menyatakan bahwa teori ini telah dianggap sebagai bentuk konsep kebohongan
dan menipu atas setiap golongan masyarakat dunia.
Maka oleh karena itulah dalam berbagai
ilmu pengetahuan yang telah berkembang masa kini dan mungkin akan berkembang
untuk seterusnya, haruslah bagi seorang peneliti yang sibuk akan sebuah ilmu
pengetahuannya agar kiranya dapat menjadikan tali keterhubungan antara ilmu
dunia dan Agama, semata tujuannya adalah untuk mengikat ruang ke-absahan bentuk
ilmu yang dituju itu menjadi relavan, benar dan fakta akan keotentikannya.
Seiring dengan perkembangan masa,
arus Technologi Information atau yang biasa dikenal dengan informasi dunia
bebas, sudah semakin maju dan berkembang dengan pesatnya diseluruh penjuru
dunia, baik arus tersebut dilihat dari segi keagamaan ataupun pendidikan yang bersifat umum. Seperti halnya ilmu biologi, geologi, komputer, matematika, politik atau arkeologi (yaitu suatu bidang studi ilmu yang mempelajari
tentang sistematik benda-benda kuno sebagai suatu alat untuk
merekonstruksi masa lampau[1]).
Namun tidak menjadi heran jika dalam arus tersebut kefaktaan ilmu memiliki sisi
kelemahan dan kurang dari bukti fakta Agama. Contohnya seperti hal yang telah
disebutkan diatas tersebut bahwa pembelajaran suatu ilmu mengenai tentang Manusia
purba yang menurut sebahagian para ahli telah hidup berjuta-juta tahun yang
lalu adalah teori yang salah, kenapa demikan ? karena keberadaan konsep
tersebut tidak disebutkan dalam kumpulan dalil yang 4.
Di dunia sekarang ini kemajuan
jaringan informasi terus melebar sesuai dengan perkembangan zamannya, disisi
lain proses pemikiran manusia pun juga mengalami perubahan dan berkembang. Namun
ketidak kongkritan dalam suatu bidang informasi yang disampaikan dalam sebuah pemikiran
juga muncul bersamaan dengan arus tekhnologi tersebut. Suatu
kondisi ilmu jika tidak digandengkan dengan referensi yang
tepat dan lugas maka ilmu itu terhenti pada akal
keraguan. Padahal salah
satu syarat bentuk ke-ontikan dari ilmu tersebut adalah terdapat segala bukti
yang nyata dan minim dari perdebatan yang berkepanjangan serta tidak adanya
unsur “semata karena akal logika manusia”. Jika terjadi banyak
kontradiksi maka ilmu tersebut bisa dikatakkan rancu. Maksud dari kata
perkiraan yang diatas adalah “mengkira-kirakan hasil pemikiran dalam suatu
bidang ilmu”, seperti memperkiraan umur bendawi yang sudah menjadi fosil dalam
menetapkan masa hidup, lahir bahkan sampai musnahnya fosil tersebut.
Lebih dalamnya, kondisi yang menjadi
pembahasan diatas dapat dibuktikan dengan suatu bidang ilmu yang menurut
penulis merupakan salah satu bidang ilmu yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan akan pembuktian-pembuktian ilmiahnya, adapun ilmu tersebut adalah fosil
Manusia Purba yang diyakini sebagai manusia pertama dibumi dan sebagai makhluk
sebelum Adam.
Sepanjang sejarah penemuan
fosil-fosil yang selama ini dianggap manusia purba merupakan hasil dari sebuah
penelitian ilmiah yang ditemukan oleh para ilmuan Barat. Baik dalam bidang penelitian
mengenai usia segala fosil ataupun dalam bidang penelitian mengenai keberadaan
fosil, adaptasinya, sifatnya ataupun selain dari padanya.
Dalam pemikiran mereka dan beranjak dari penemuan
fosil-fosil tersebut timbulah sebuah pendapat yang mengemukakan bahwa asal-usul
manusia purba pada awalnya adalah Manusia Ardipithecus Rramidus,[2] ,
fosil ini ditemukan oleh
Tim White, Berhane Asfaw dan Gen Suwa pada th.1992, 1993 dan 1994 di Aramis,
Ethiopia, Afrika, yang berumurnya diperkirakan 4,4 juta tahun lalu. Namun sebahagian pendapat para ahli lainnya
mengatakan bahwa kehidupan awal manusia purba yang cerdas ataupun sebutan nenek
moyang manusia modern adalah Homo Sapiens, fosil ini berada pada Zaman
Kuarter Piestosen, yaitu zaman yang berumur sekitar 25.000
tahun yang lalu.[3] Muhammad
sholihin mengatakan didalam bukunya bahwa Nabi Nuh adalah manusia yang
digolongkan kepada generasi ketiga, sedangkan generasi kedua adalah Nabi Adam,
adapun generasi pertamanya yaitu“manusia yang
belum berakal yang akhirnya hanya merusakkan bumi, sehingga diganti oleh Allah”[4] (Manusia Purba). Kemudian Muhammad menambahkan bahwa manusia
purba hidup pada masa sebelum Adam diturunkan,
istilah manusia purba ini disebut olehnya dengan nama Pithecantropus Erectus.[5]
Konsep pemikiran diatas bagi
peradaban Barat ataupun konsep yang dikemukakan oleh orang yang non Barat
adalah susuatu yang real bagi mereka. Namun perlu dicatat, ilmu pengetahuan
yang berkembang pada era dominasi peradaban barat sekarang ini bersumber dari
paham sekularisme, utilitarianisme dan materialisme. Pemahaman tersebut menolak
unsur transenden dalam alam semesta, yaitu memisahkan agama dari kehidupan dan
nilai yang tidak mutlak atau relatif (Harvey Cox, The Secular City, 1965).[6]
Memahami konsep asal-usul manusia
seperti yang dikemukakan di atas, adalah tidak bijak jika adanya pengklaiman
bahwa konsep tersebut adalah salah, jika tidak didasari pada penelitian-penelitian
lebih lanjut dan disertai dengan unsur agama. Dalam pandangan Islam menggabarkan
bahwa setiap yang diperbuat ataupun yang diciptakan oleh makhluk adalah baharu
dan terdapat suatu kelemahan serta ketidak sempurnaannya dari hasil yang telah diperbuat
olehnya. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya disebut dengan istilah wajib
aqli[7]
dalam ilmu Tauhid, yaitu sesuatu hal kejadian ataupun ketetapan hukum yang harus
ada pada segala makhluk itu lemah dan mustahil jika suatu hal ini tiada padanya,
pemikiran akal seperti ini wajib ada bagi setiap mukallaf, baik muslim ataupun
tidak, alasannya karena segala hal yang bersifat materi adalah makhluk dan
setiap makhluk adalah baharu dan yang baharu akan musnah dan memiliki unsur
kelemahan. Maka untuk itu segala hal yang berasal dari makhluk, seperti hasil
usaha, iktiar, ilmu, hal yang diperbuat, dan bahkan penemuan sebuah teori yang
telah ditemukan selama ini oleh berbagai para ahli dalam setiap bidang ilmu
pengetahuan mengandung sisi kelemahannya, maka jika dijadikan pegangan hukum
mutlak dibawah dasar akidahnya adalah tidak dibenarkan, apalagi itiqad
batiniyah dan lahiriyyah yang tidak ber-korelasi kepada ajaran Allah SWT.
Mahmud Yunus dalam kamusnya mengatakan
bahwa, makhluk secara definisi lafadznya diartikan sebagai makna sesuatu
yang dijadikan[8]. Adapun secara maknawiyah-nya
(secara makna arti) makhluk dapat diartikan sebagai jenis seperti manusia, jin,
iblis, tumbuh-tumbuhan, angin, gunung dan lain sebagainya. Sedangkan yang
menjadikan semua makhluk dinamakan dengan Khaaliq, sang pencipta yaitu
Allah SWT. Maka dapat disimpulkan bahwasanya kelemahan pada makhluk adalah wajib
akal, yaitu wajib dipercaya secara akal akan keberadaan kelemahan ilmu
hasil pengetahuan manusia dan akhirnya kesempurnaan tiada kelemahan adalah pada
Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.
Disetiap ilmu pengetahuan dunia tidaklah
dapat dilepaskan dengan ilmu pengetahuan agama. Mustahil adanya agama tanpa
ilmu dan mustahil juga berkembangnya ilmu tanpa agama. Keduanya adalah satu,
tidak bisa terpisah dari keduanya, baik cara kerja ilmu itu sendiri, fungsi,
hikmah, maksud ataupun kefaktaan ilmu dan lain sebagainya. Dalam hal ini Sugiharto
mengatakan, bahwa ilmu dan agama perlu dipertemukan, khusunya dalam konteks
perguruan tinggi[9].
Dilihat dari pandangan umum, adapun keberadaan
teori manusia purba tidaklah ditemukan sama sekali penjelasannya dalam ayat al-Qur’an
bahkan pun al-Hadis, demikian juga halnya didalam kitab-kitab tafsir yang
dikarang oleh para ahli tafsir. Tidak satu ayat pun yang menerangkan keberadaan
manusia purba tersebut bahwa pernah beradaptasi berjuta-juta tahun dibumi,
namun dari sekelumit penjelasan ayat yang diturunkan oleh Allah tersebut, para
ahli tafsir mendapati sebuah berita ayat yang mengarah kepada penjelasan
makhluk sebelum Adam A.S, akan tetapi berita yang didapati didalam al-Qur’an
tersebut tidaklah mengarah kepada tema makhluk yang berbentuk kera itu, namun
mereka berpendapat bahwa makhluk itu adalah golongan yang dimaksud oleh
malaikat ketika Allah berkkehendak untuk menciptakan Adam, yaitu mereka berasal
dari bangsa jin bukan manusia. Imam
as-Suyuti, salah seorang dari ahli tafsir mengatakan bahwa Rasulullah pernah
bersabda dalam hadistnya “Mereka (yaitu makhluk yang pernah hidup dibumi
sebelum adam diturunkan) adalah sekolompok jin yang bernama al-Haris”[10]. Dalam
hadist yang lain menyebutkan bahwa “Mereka adalah segolongan jin yang diturunkan
kemuka bumi lalu mereka saling membunuh”[11] Inilah
makna tafsir al-Qur’an dalam surat al-Baqaarah ayat 30 yang menyatakan
bahwasanya para malaikat pada dasarnya tidak menyetujui atas kehendak Allah dalam
menciptakan keberadaan Adam kemuka bumi ini, Sehingga mereka bertanya kepada
Allah “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah”(Q.S.
Al-Baqarah : 30). Akan tetapi Allah SWT menjawab, “Sesungguhya
Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”.
Menurut Imam
al-Qaasimy, bentuk ketidak setujuan malaikat saat itu merupakan sebuah pengetahuan
khusus yang diberikan oleh Allah kepada mereka sehingga mereka bisa mengetahui
apa yang ingin diciptakan oleh Allah SWT.[12] Al-Qasimy, berpendapat demikian
karena tidaklah relavan jika para malaikat yang memiliki sifat patuh atas segala perintah Allah berani
memprotesi kehendak Allah saat itu, maka tidaklah terlepas dari makna dalil
yang menjadikan rujukan al-Qasimy untuk berpendapat bahwa bentuk bertanyanya
mereka kepada Allah saat itu adalah sebuah kelebihan sifat yang diberikan oleh
Allah kepada mereka, hal ini adalah wajar terjadinya karena mereka adalah para
malaikat Allah dan proses kejadian Adam pada saat itu juga merupakan sabab
musabab dalam sebuah penciptan-Nya.
Sebahagian para ahli tafsir menerangkan
bahwasanya makhluk pertama di dunia ini adalah berupa jin ataupun jin yang
berasal dari golongan malaikat, sedangkan menurut para ahli dalam bidang Paleontropologi
mengatakan dalam berbagai kutipan mereka bahwasanya makhluk pertama yang pernah
mendiami isi bumi ini adalah manusia purba bukanlah Adam, sehingga mereka
mendefinisikan bahwasanya manusia purba pernah hidup pada masa bumi masih dalam
proses pembentukan sempurna. Kedua pendapat ini mengalami kontroversi argumen
yang sudah terjadi puluhan tahun kebelakang akan tetapi teori barat ini tidak
dihiraukan akan kebenarannya oleh sebahagian bidang pendidikan ataupun dalam
ranah kurikulum masyarakat Islam itu sendiri, sehingga teori yang berasal dari
sebuah pemahaman keliru itupun menjamur keseluruh pendidikan umum yang sampai
saat ini segolongan inhabitas dunia masih mempelajarinya, baik dalam kurikulum
Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, bahkan dibeberapa universitas
pendidikan tinggi pun teori ini menjadi dasar awal tema dimulainya pengetahuan
ilmu pra-sejarah yang setiap penuntut ilmunya harus mengetahui sedikit tidaknya
tentang adaptasi makhluk manusia tersebut sebelum dimulainya pembahasan sejarah
dalam setiap waktunya, keadaan, dan keberadaan dalam kurikulum yang sah.
Di sisi lain, ada anggapan dari sebahagian
kecil masyarakat mempertanyai keberadaan bentuk transisi ending generasi ke 3
antar manusia purba dengan manusia Adam kemasa sejarah Nabi Adam A.S dengan
umatnya saat itu, seperti mana yang telah digambarkan oleh MuhammaShalihin
diatas, maka diposisi manakah keberadaan
manusia purba tersebut ? ada yang mengatakan mereka berada dimasa sebelum para
Nabi dihidupkan, bahkan sebahagian masyarakat menengah kebawah berpendapat
manusia purba hidup semasa dengan Adam yang selanjutnya berlanjut kemasa setelahnya.
Perlu diketahui, semua pendapat yang telah
dijelaskan disini adalah bentuk pemahaman teori yang membingungkan bagi
masayarakat dunia ataupun khususnya di indonesia, teori ini telah lama berakar
dikalangan masyarakat dan anggapan cara berfikir salah ini mengalami multitafsir
terus menerus hingga saat ini bahkan kemasa mendatang. Untuk itu beranjak dari
permasalahan inilah penulis sangatlah perlu mengarahkan dan mencoba untuk
memberikan beberapa penjelasan sebenarnya mengenai siapakah manusia yang pertama
dibumi sebagaimana yang telah diajarkan dalam al-Qur’an, hadist dan pendapat
para ulama tafsir.
Selain itu,
penulis juga merasa perlu melakukan penelitian melalui metode-metode kaedah
al-Qur’an, kemudian mencari ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan adanya makhluk
purba atau tidak, lalu bagaimanakah al-Qur’an menaggapi permasalahan ini, dan
siapakah makhluk yang sebenarnya yang hidup sebelum Adam diturunkan, apakah
al-Qur’an menyebutkannya ataukah tidak, kemudian apakah manusia purba dijelaskan
dalam kitab suci tersebut ?. Untuk memperkuat kumpulan argumen dalam buku ini
penulis juga akan menilik beberapa pendapat para ahli tafsir al-Qur’an dan
berbagai pandangan keilmuan agama dalam menjawab sekelumit permasalahan
tersebut, termasuk disana nanti penulis merasa perlu untuk meletakkan beberapa
kaedah-kaedah ilmu agama, seperti ilmu Tauhid, Ilmu Mantiq, Nahwu, Sharaf, Ilmu
Balagah, dan lain sebagainya yang semua ilmu tersebut tak lepas dari objek yang
berkorelasi kepada pembahasan yang dimaksud.
Adapun tujuan dari semua pembahasan yang
penulis jelaskan kedepan nanti adalah semata hanya karena untuk mengarahkan
pandangan agama kepada arti kehakekatan manusia pertama yang sesungguhnya dalam
pandangan Al-Qur’an juga ilmu agama lainnya. Selain itu penulis mengajak kepada
seluruh masyarakat khususnya anda yang membaca buku ini agar kiranya dapat
memahami tentang pentingnya tali pengikat agama dibeberapa sisi ilmu
pengetahuan dalam segala hal agar kiranya ilmu itu tidak lari dari sifat
kebenaran dan tidak berada di beberapa tempat kebohongan-kebohongan belaka.
Semoga Allah SWT meridhai kita semua dan
selalu merahmati atas segala apa yang kita lakukan. Amin.
Blang Bintang, Banda Aceh 28 Juli 2012
[1]Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009), hal. 2.
[2]AF Hizbullah (Ahli Geologi Museum Bandung), Temuan Fosil Manusia Purba
di Dunia, Bandung, 4 Rabi’ul Awwal 1426 H/13 April 2005.
[4]Muhammad
Sholihin, Misteri Bulan Syura Perspektif Islam Jawa, (Jakarta: PT. Suka
Buku Kita 2010), hal 203.
[5]Ibid.
[7] Awaluddin, Sifat dua puluh, (Jakarta
: Yayasan Sosial Pendidikan Pengembangan dan Penelitian Islam, M.A Jaya
Indonesia), hal. 12.
[8] Yunus Muhammad, Qamus Arab-Indonesia,
(Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989), hal. 120.
[9]
Zainal Abidin dkk., Integrasii Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Cet.
I, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005), hal 13.
[10]
Imam as-Suyuti, ad-Dur al-Mansur fi Tafsir al-Ma’tshur, Jilid I, (Beirut
: Darul Fikri, 1983), hal. 111.
[12]
Muhammad Jamaluddin, Tafsir Mahasinut Ta’wil Juzu’ I, (Beirut: Darul
Fikri, 1978), hal. 96.
0 komentar:
Posting Komentar