Jika sekiranya Rancangan Qanun Wali
Nanggroe jadi di sahkan menjadi Qanun tentang Wali Nanggroe maka Aceh
sudah bisa dikatakan sebagai Negeri Tiga Wali. Terlepas apakah wujud
Wali Nanggroe akan lebih sesuai dengan semangat self-government atau
hanya sesuai dengan semangat UUPA itu artinya Aceh sudah menjadi “Negeri
Tiga Wali” karena ada tiga katagori wali yang akan menentukan corak
keacehan. Tiga Wali itu adalah Wali Allah, Wali Al-Amr, dan Wali
Nanggroe.
Wali Allah
Kiranya tidak terlalu berlebihan
jika penyanyi Aceh, Rafly sampai pada potongan syair yang menegaskan
bahwa Aceh adalah bumi tanoh aulia. Hanya saja, saya yakin kalau yang
dimaksud oleh Rafly sebagai tanoh aulia itu lebih kaitannya dengan Wali
Allah atau Waliullah. Dasarnya tentu sangat kuat baik secara teologis
maupun secara antropologis.
Hal itu bisa dimaklumi karena
memang tradisi pemikiran Islam di Aceh dipenuhi dengan dialog-dialog
kesufian dan pada saat yang sama banyak tokoh-tokoh agama di Aceh yang
sangat akrab dengan tradisi kesufian. Meski diantara mereka saling
berbeda pendapat atau aliran namun hampir semuanya menjadi pengikut dan
bahkan menjadi pengembang tasauf baik untuk Aceh maupun keluar Aceh.
Bahkan, beberapa Wali Songo kabarnya memiliki garis hubungan pendidikan
atau bahkan hubungan keturunan dengan Aceh.
Hamzah Fansuri, Nurruddin
Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf atau Syiah Kuala
adalah beberapa diantara ulama besar di Aceh yang pernah ada di zaman
keemasan kesultanan Aceh dan semuanya memiliki garis kesufian dengan
masing-masing aliran tasaufnya sendiri. Jika Hamzah Fansuri lebih
dikenal dengan faham Wahdatul Wujud maka Nurruddin Ar-Raniry lebih
dikenal dengan faham Wahdatul Syuhud. Sedangkan Syech Abdurrauf yang
juga dikenal dengan dengan gelar "Rajulu yusaawi uluufa rijaali"
(Seorang laki-laki yang sama nilainya dengan beribu-ribu laki-laki)
lebih dikenal dengan tarikat Syattariyah.
“Elit spiritual” di Aceh tentu
saja tidak terbatas pada zaman kesultanan atau kerajaan. Banyak sekali
ulama-ulama atau Tengku di Aceh yang alim dan bahkan dipandang sebagai
aulia oleh masyarakat baik pada zaman perang melawan Belanda maupun
hingga saat ini. Hampir semua ulama-ulama yang dihormati dan diikuti
oleh masyarakat memiliki garis kesufian yang tentu saja sangat akrab
dengan kaedah-kaedah kewalian. Tengku Ibrahim Woyla yang berpulang tahun
lalu juga dikenal sebagai sosok Aulia Tuhan.
Jadi di Aceh Wali Allah tidak
hanya hidup secara teologis dalam kajian dan pemikiran keislaman ulama
di Aceh tapi juga secara antropologis bisa ditemukan sosoknya di Aceh,
minimal dalam pengertian atau yang mendapat pengakuan dari masyarakat.
Semua “elit spiritual” itu bukan hanya dipahami sebagai sosok yang
memiliki kualitas spiritual saja melainkan juga sebagai sosok yang
memainkan peran sosial hingga peran politik baik dalam konteks menjadi
mitra sultan maupun dalam konteks sebagai pemimpin perlawanan atau hanya
sebatas pemimpin non formal di masyarakat.
Wali Al-Amr
Kewalian
tentu tidak hanya dikenal dalam kazanah kesufian saja. Dalam khazanah
figh juga dikenal istilah wali dan amir yang kala disatukan menjadi
“wali al-amr” atau yang dalam bahasa Arabnya "waliy-u 'l-amr" yang
bermakna penguasa atau pemerintah.
Memang, terkait dengan siapa
yang dimaksud dengan “wali al-amr” ada beda pendapat. Ada yang
menyatakan mereka yang ahli agama (ulama) tapi ada juga yang menyatakan
umara atau amir (penguasa). Namun, bagi Imam Al-Mawardi lebih condong ke
umara atau penguasa dari pemimpin tertinggi hingga terendah.
Pemimpin tertinggi dan
jajarannya masuk dalam “wulad” (mufradnya wali sebagai singkatan dari
waliy-u 'l-amr) dan umara (tunggalnya amir) yaitu penguasa yang diberi
kewenangan dalam satu urusan tertentu, atau suatu daerah kekuasaan
tertentu. Jadi wilayah kekuasaan “Wali Al-Amr” sudah masuk ke wilayah
publik dalam lingkup hukum publik (al-ahkam al-sulthaniyah). Ini untuk
membedakan dengan wali anak atau wali nikah misalnya yang lebih ke
wilayah kekuasaan natural atau alamiah.
Jika dicermati uraian Imam
Al-Mawardi lebih lanjut tentang 20 kewenangan yang dimiliki oleh “Wali
Al-Amr” maka mulai yang namanya khilafah atau presiden dan selanjutnya
(para pembantunya) adalah “Wali Al-Amr” karena kepada mereka sudah
melekat akad dan juga legalitas atau otoritas (tauliyah).
Dari penjelasan singkat dan
sederhana itu bisa dipahami bahwa Pemimpin Aceh beserta perangkatnya
bisa juga disebut dengan Wali, atau lengkapnya “Wali Al-Amr” karena
dipilih, diikat janji, dan diakui serta diberi kewenangan dalam urusan
tertentu dalam wilayah publik dan hukum publik.
Salah satu ayat Quran yang sudah
umum diketahui terkait Wali Al-Amr adalah “Hai orang-orang yang
beriman! Taatilah Allah dan taatilah rasulNya dan "ulil amri" dari
kalian...” (An-Nisa 59).
Wali Nanggroe
Sulit
untuk melacak argumentasi filosofis yang kuat mengapa dua otoritas yang
sudah ada dan hidup dalam tatanan sosial keacehan itu belum cukup dan
karenanya masih diperlukan satu bentuk wali lagi di Aceh, yakni Wali
Nanggroe. Adakah itu terkait dengan kesadaran sejarah Aceh,
sosio-kultural atau lebih karena imajinasi politik semata untuk
kepentingan politik identitas dalam rumah kebangsaaan Indonesia.
Jika dikatakan konsepsi Wali
Nanggroe memiliki legalitas sejarah maka penting untuk menyusun
patahan-patahan sejarah Aceh untuk melihat garis kesinambungannya
sehingga tidak dikemudian hari justru dipahami sebagai suatu "kudeta
politik" ala Aceh.
Sebaliknya, jika Qanun Wali
Nanggroe ditempatkan sebagai imajinasi politik keacehan yang diletakkan
dalam kerangka pemaknaan self-government maka penting untuk dipikirkan
secara lebih matang, dalam dan terbuka terutama kaitannya dengan bahasan
model; monarki, teokrasi, aristokrasi, atau demokrasi sehingga
kehadirannya akan menjadi lebih bermakna kala diletakkan dalam kerangka
kebhinnekaan Indonesia.
Apapun itu, saya melihat
penghadiran Wali Nanggroe kali ini, meminjam istilah Nezar Patria,
merupakan “rasukan” politik kedua setelah sebelumnya Hasan Tiro pernah
“dirasuki” oleh tugas sejarah hasil tafsir sejarah Aceh yang ia pahami.
Dengan kata lain, bisa menjadi cara pandang baru dalam konteks perubahan
iklim perpolitikan nasional.
Terakhir, apapun difinisi
difinitif yang akhirnya dipakai nantinya yang jelas keberadaan Wali
Nanggroe secara nyata di Aceh akan menjadi bagian yang akan menentukan
corak keacehan lebih lanjut sekaligus akan menegaskan bahwa Aceh akan
segera menjadi Negeri Tiga Wali baik untuk menjaga moralitas kedirian
(waliullah), kesejahteraan, keadilan dan keamanan (wali al-amr), dan
spirit keacehan (wali nanggroe).
Meski begitu, penting untuk
mewaspadai peringatan Allah pada pengaruh buruk dan jahat dari apa yang
disebut dengan Wali Syetan dan diatas segalanya tentu sangat penting
untuk menyakini firman Allah berikut “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah
Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, dalam keadan ruku.” (Al Maidah 55).
***
1 komentar:
(y)
Posting Komentar